Apa Yang Terjadi Pada Mei 1998 Serta Tanggapan Dunia? (2)

Seorang perempuan etnik Tionghoa korban tewas kerusuhan Mei 1998.
Mike PortalAtas seruan keras opini publik dalam dan luar negeri, pemerintah RI pada 23 Juli telah membentuk Panitia Gabungan Pencari Fakta yang beranggotakan 7 orang wakil pemerintah dan 11 orang relawan HAM dan organisasi bantuan hukum dari masyarakat. Menurut rencana 3 bulan kemudian yaitu pada 23 Oktober panitia akan melaporkan hasil penyelidikan kepada pemerintah, namun laporan terakhir tertunda 2 kali baru dapat diumumkan.

Pada 3 November di gedung Departemen Kehakiman, setelah ratusan wartawan menunggu selama 5 jam, di bawah situasi 6 orang pejabat setingkat menteri dari departemen bersangkutan tak seorang pun yang hadir, ketua panitia pencari fakta Marjuki Darusman baru mengumumkan seluruh hasil penyelidikan.

Laporan membuktikan, kerusuhan Mei benar-benar adalah kerusuhan yang terorganirsir dan terencana secara rapi, pada masa kerusuhan dan pasca kerusuhan dengan sasaran penyerangan utama adalah orang Tionghoa, jelas-jelas telah terjadi peristiwa perkosaan secara massal terhadap para perempuan Tionghoa yang mengejutkan itu. Laporan menunjukkan, pada masa kerusuhan 13 - 15 Mei, di Jakarta telah terjadi kasus 52 perempuan diperkosa, 14 perempuan diperkosa dan dianiaya, 10 perempuan mengalami serangan seksual dan penganiayaan, 9 perempuan mengalami pelecehan seksual; kasus pemerkosaan hampir bersamaan terjadi di daerah yang berlainan, lagi pula sebagian besar adalah kasus perkosaan massal, dan hampir semua penderita adalah keturunan Tionghoa.

Laporan penyelidikan tersebut secara umum diragukan kebenarannya, karena hasil temuan serta kesimpulan pada dasarnya telah dilaporkan dalam pemberitaan media sebelumnya, lagi pula di dalam laporan terdapat tanda-tanda “penghambaran” dan “menutup-nutupi”yang sangat mencolok, angka yang diumumkan berbeda sangat jauh dengan yang diperkirakan.

Dalam peringatan 10 tahun “Kerusuhan Mei” pada 15 Mei 2008, Komite Hak Asasi Perempuan Indonesia dalam laporannya menyebutkan, sejumlah besar perempuan etnis Tionghoa di dalam kerusuhan Mei 1998 telah mengalami kekerasan adalah realita yang tak terbantahkan. Ia mengatakan, sebagian besar korban diperkosa massal, bahkan ada yang mengalami perusakan anggota vital seksual, selain itu terdapat pula banyak sekali pelecehan seksual dan angka korban jauh melebihi 85 kasus yang dilaporkan oleh tim gabungan pencari fakta.

Namun, pemerintah RI kala itu menanggapi hasil laporan tim gabungan pencari fakta dengan mengkritik, atau menyangkal, atau bungkam, bahkan ada yang meragukan kebenarannya. Seorang Romo dalam wawancara dengan reporter AFP saat peringatan 10 tahun “Kerusuhan Mei” pada 2008 menyampaikan ketidak-puasannya terhadap sebagian pejabat yang meragukan kebenaran laporan tersebut, “sejumlah aktivis dan korban kerusuhan mendapat ancaman untuk tutup mulut.” Ia menyampaikan: “Kami ingin membuktikan kepada masyarakat internasional, kerusuhan anti-Tionghoa 1998 bukan akibat dari perselisihan antara penduduk etnis Tionghoa dengan rakyat setempat, ini adalah “gerakan terencana oleh kalangan penguasa waktu itu”.

Gerakan alihkan kontradiksi

Latar belakang peristiwa kerusuhan anti Tionghoa 5 Mei 1998 di Indonesia: Krisis Ekonomi Asia 1997 melanda Indonesia. Kesenjangan sosial yang sangat parah, setelah badai moneter berlalu nampak semakin gamblang, politik dalam negeri diliputi keresahan dalam jangka waktu lama. Banyak analis berpendapat, perancang kerusuhan kali ini erat hubungannya dengan pertarungan internal para elit politik Indonesia, terutama presiden Indonesia saat itu, Soeharto, berusaha mengalihkan tekanan krisis moneter dan meringankan tekanan dari dalam negeri, melalui upaya memecah belah kaum muslim tradisional dengan non-tradisional, kaum muslim dengan kristiani, bahkan orang Tionghoa dengan pribumi, untuk mencapai tujuan “mengikis kekuatan oposisi”, maka melalui lembaga intel militer dengan sengaja merancang, menghasut serta mengendalikan pertentangan SARA (suku, agama, ras, antar-golongan).

Kerusuhan bersamaan terjadi di berbagi daerah dengan terancang dan terorganisir; pada saat kerusuh-an terjadi selama 30 jam, polisi dan tentara menghilang di sejumlah daerah, bahkan terjadi penarikan polisi dan pasukan militer beberapa jam sebelum kerusuhan terjadi, membuat panglima ABRI waktu itu Jenderal Wiranto dalam posisi sulit, juga menjadi alasan Soeharto mengambil langkah penindasan terhadap kaum pembangkang.

Catatan tim gabungan pencari fakta dalam keterangan yang disampaikan Gubernur DKI dan Panglima Kodam DKI saat itu mengenai peristiwa kerusuhan Mei, Gubernur mengakui kerusuhan dilakukan secara terorganisir dan ada yang menghasut; sedangkan mantan panglima kodam DKI mengakui sejumlah perusuh datang dari luar Jakarta, namun catatan keterangan tersebut belakangan dihilangkan.

Kerusuhan anti Tionghoa Mei 1998 di Indonesia telah berlalu 14 tahun lamanya. Hingga saat ini, para perusuh masih belum mendapat hukuman yang setimpal, juga tidak terdapat laporan penyelidikan yang menyeluruh dan terpercaya dari pihak pemerintah yang mengungkap seluruh fakta peristiwa kejadian.

Baca Apa Yang Terjadi Pada Mei 1998 Serta Tanggapan Dunia? Bagian 1


Love to hear what you think!